Mencari Pahlawan Indonesia (Review)
Awalnya hendak me-review buku Mencari Pahlawan Hatiku..hehehe..namun karena buku tersebut belum ada, jadi diganti saja dengan buku Mencari Pahlawan Indonesia :D
Lagi-lagi buku Anis Matta. Yup, saya suka semua karya Anis Matta. Jika dilihat sekilas buku ini kesannya kurang menarik, namun ketika lembar demi lembar dicerna, sungguh banyak mutiara tertera didalamnya. Sebenarnya agak sulit untuk mereviewnya sebab tulisan-tulisan di dalam buku tersebut berseri, but I try my best. Ini hasilnya, semoga bermanfaat.
Krisis adalah takdir sebuah bangsa. Ia tidak perlu disesali. Apalagi dikutuk. Kita hanya perlu menyakini sebuah kaidah, bahwa masalah kita bukan pada krisis itu. Namun pada kelangkaan pahlawan saat krisis itu terjadi. Itu tanda kelangsungan hidup atau kehancuran sebuah bangsa.
Orang-orang biasa yang melakukan kerja-kerja besar itulah yang kita butuhkan di saat kritis. Bukan orang-orang yang tampak besar namun hanya melakukan kerja-kerja kecil lalu menulisnya dalam autobiografinya. Semangat untuk melakukan kerja-kerja besar dalam sunyi yang panjang itulah yang coba dihidupkan dalam tulisan ini. Tulisan yang mencoba menghadirkan makna-makna yang melatari sebuah tindakan kepahlawanan. Bukan sekedar cerita heroism yang melahirkan kekaguman namun tidak mendorong kita meneladaninya.
Di tengah badai ini kita merindukan pahlawan itu. Pahlawan yang, kata Sapardi, “telah berjanji kepada sejarah untuk pantang menyerah.” Pahlawan yang, kata Chairil Anwar, “berselempang semangat yang tak bisa mati.” Pahlawan yang akan membacakan “pernyataan” Mansur Samin:
Lagi-lagi buku Anis Matta. Yup, saya suka semua karya Anis Matta. Jika dilihat sekilas buku ini kesannya kurang menarik, namun ketika lembar demi lembar dicerna, sungguh banyak mutiara tertera didalamnya. Sebenarnya agak sulit untuk mereviewnya sebab tulisan-tulisan di dalam buku tersebut berseri, but I try my best. Ini hasilnya, semoga bermanfaat.
Krisis adalah takdir sebuah bangsa. Ia tidak perlu disesali. Apalagi dikutuk. Kita hanya perlu menyakini sebuah kaidah, bahwa masalah kita bukan pada krisis itu. Namun pada kelangkaan pahlawan saat krisis itu terjadi. Itu tanda kelangsungan hidup atau kehancuran sebuah bangsa.
Pahlawan bukanlah orang suci dari langit yang diturunkan ke
bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mujizat, secepat kilat untuk
kemudian kembali ke langit. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan
pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi panjang, sampai waktu mereka habis.
Mereka tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau
dimakamkan di Taman Makan Pahlawan. Mereka juga melakukan kesalahan dan dosa.
Mereka bukan malaikat. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan
seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di
sekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil jadi sebuah gunung: karya
kepahlawanan adalah tabungan jiwa dalam masa yang lama.
Orang-orang biasa yang melakukan kerja-kerja besar itulah yang kita butuhkan di saat kritis. Bukan orang-orang yang tampak besar namun hanya melakukan kerja-kerja kecil lalu menulisnya dalam autobiografinya. Semangat untuk melakukan kerja-kerja besar dalam sunyi yang panjang itulah yang coba dihidupkan dalam tulisan ini. Tulisan yang mencoba menghadirkan makna-makna yang melatari sebuah tindakan kepahlawanan. Bukan sekedar cerita heroism yang melahirkan kekaguman namun tidak mendorong kita meneladaninya.
Para pahlawan bukan untuk dikagumi. Namun untuk diteladani.
Maka makna-makna yang melatari tindakan mereka yang perlu dihadirkan ke dalam
kesadaran kita. Tulisan ini adalah pesan untuk orang-orang biasa, seperti saya,
anda dan siapa saja, yang hendak mencoba dengan tulus memahami makna-makna itu,
lalu secara diam-diam merakit kerja-kerja kecil menjadi sebuah gunung karya.
Di tengah badai ini kita merindukan pahlawan itu. Pahlawan yang, kata Sapardi, “telah berjanji kepada sejarah untuk pantang menyerah.” Pahlawan yang, kata Chairil Anwar, “berselempang semangat yang tak bisa mati.” Pahlawan yang akan membacakan “pernyataan” Mansur Samin:
Demi amanat dan beban rakyat,
Kami nyatakan ke seluruh dunia,
Telah bangkit di tanah air,
Sebuah aksi perlawanan
Terhadap kepalsuan dan kebohongan
Yang bersarang dalam kekuasaan
Orang-orang pemimpin gadungan.
Karena kerinduan itu, ku dengar Chairil Anwar seperti
mewakili mereka:
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja kami belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu
nyawa.
Kami Cuma tulang-tulang berserakan.
Tapi adalah kepunyaamu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang yang
berserakan.
Tulang-tulang yang
berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada mereka?
Ataukah tak lagi ada
wanita di negeri ini yang mampu melahirkan pahlawan?
Seperti wanita-wanita
Arab yang tak lagi mampu melahirkan lelaki seperti Khalid bin Walid?
Tulang belulang
berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada mereka?
Ataukah, seperti kata
Sayyid Quthub, “Kau mulai jemu berjuang, lalu kau tanggalkan senjata dari
bahumu?” Tidak! Kaulah pahlawan yang kurindu itu. Dari beratus jiwa di negeri
sarat nestapa ini. Atau jika tidak, biarlah kepada diriku saja aku berkata:
Jadilah pahlawan itu.
Pekerjaan-pekerjaan
besar dalam sejarah hanya dapat diselesaikan oleh mereka yang mempunyai naluri
kepahlawanan. Tantangan-tantangan besar dalam sejarah hanya dapat dijawab oleh
mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan. Itulah sebabnya kita menyebut
orang-orang pahlawan itu orang-oramg besar.
Mungkin, karena itu
pula para pahlawan selalu muncul di saat-saat yang sulit, atau sengaja
dilahirkan di tengah situasi yang sulit. Mereka datang untuk membawa beban yang
tak dipikul oleh manusia-manusia di zamannya. Mereka bukan kiriman gratis dari
langit. Akan tetapi, sejarah kepahlawanan mulai dicatat ketika naluri
kepahlawanan mereka merespon tantangan-tantangan kehidupan yang berat. Ada
tantangan dan ada jawaban. Dan hasil dari respon itu adalah lahirnya
pekerjaan-pekerjaan besar.
Tantangan adalah
stimultan kehidupan yang disediakan Allah untuk merangsang munculnya naluri
kepahlawanan dalam diri manusia. Orang-orang yang tidak mempunyai naluri ini
akan melihat tantangan sebagai beban berat, maka mereka menghindarinya dan
dengan sukarela menerima posisi kehidupan yang tidak terhormat. Namun
orang-orang yang mempunyai naluri kepahlawanan akan mengatakan
tantangan-tantangan kehidupan itu: ini untukku. Atau seperti ungkapan
orang-orang shadiq dalam perang khandaq yang diceritaka dalam Al-Qur’an, “Dan
takkala orang-orang beriman melihat
golongan-golongan yang saling bersekutu itu, (dalam menghadapi orang-orang
beriman), mereka berkata, inilah yang dijanjikan Allah dan RasulNya kepada
kita. Dan benarlah Allah dan RasulNya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah
kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. “ {Al-Ahzab: 22}.
Keberanian adalah saudara paling dekat
dari naluri kepahlawanan. Pahlawan sejati selalu merupakan seorang
pemberani sejati. Tidak akan pernah seseorang disebut pahlawan, jika ia tidak
pernah membuktikan keberaniannya. Pekerjaan-pekerjaan besar atau
tantangan-tantangan besar dalam sejarah selalu membutuhkan kadar keberanian
yang sama besarnya dengan pekerjaan dan tantangan itu. Sebab pekerjaan dan
tantangan besar itu selalu menyimpang resiko. Dan tak ada keberanian tanpa
resiko.
Naluri kepahlawanan
adalah akar dari pohon kepahlawanan. Akan tetapi, keberanian adalah batang yang
menegakkannya. Keberanian adalah batang yang menegakkannya. Keberanian adalah
kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa, yang mendorong seseorang maju
menunaikan tugas, baik tindakan maupun perkataan, demi kebenaran dan kebaikan,
atau untuk mencegah suatu keburukan dan dengan menyadari sepenuhnya semua
kemungkinan resiko yang akan diterimanya.
Tidak ada keberanian
yang sempurna tanpa kesabaran. Sebab kesabaran adalah nafas yang menentukan
lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri seorang pahlawan. Maka,
ulama kita dulu mengatakan, “Keberanian itu sesungguhnya hanyalah keasabaran
sesaat.”
Resiko adalah pajak
keberanian. Dan hanya kesabaran yang dapat menyuplai seorang pemberani dengan
kemampuan untuk membayar pajak itu terus menerus. Itulah yang dimaksud Allah
SWT dalam firmanNya, “Jika ada di antara
kamu dua puluh orang penyabar, niscaya mereka akan mengalahkan dua ratus orang
musuh. Dan jika ada di antara kamu seratus orang (penyabar), niscaya mereka
akan mengalahkan seribu orang kafir.” {Al-Anfal: 65}
Seseorang disebut pahlawan
karena timbangan kebaikannya jauh mengalahkan timbangan keburukannya, karena
kekuatannya mengalahkan sisi kelemahannya. Jika engkau mencoba menghitung
kesalahan dan kelemahannya, niscaya engkau menemui kesalahan dan kelemahannya
itu “tertelan” oleh kebaikan dan kekuatannya.
Akan tetapi, kebaikan
dan kekeuatan itu bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan merupakan rangkaian
amal yang menjadi jasanya bagi kehidupan masyarakat manusia. Itulah sebabnya
tidak semua orang baik dan kuat menjadi pahlawan yang dikenang dalam ingatan
kolektif masyarakat atau apa yang kita sebut sejarah. Hanya apabila kebaikan
dan kekuatan menjelma jadi matahari yang menerangi kehidupan, atau purnama yang
merubah malam jadi indah, atau mata air yang menghilangkan dahaga.
Nilai sosial setiap kita
terletak pada apa yang kita berikan kepada masyarakat, atau pada kadar manfaat
yang dirasakan masyarakat dari keseluruhan performance kepribadian kita. Maka,
Rasulullah saw berkata, “Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.” Maka benarlah
apa yang dikatakan Sayyid Qutbh, “Orang yang
hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai
orang kerdil. Akan tetapi, orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai
orang besar dan mati sebagai orang besar.”
Para pahlawan mukmin
sejati tidak akan membuang energy mereka untuk memikirkan seperti apa ia akan
ditempatkan dalam sejarah manusia. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana mereka
meraih posisi paling terhormat di sisi Allah SWT. Itulah sejarah sebenaranya. Jika
suatu ketika sejarah manusia memberi mereka posisi terhormat, itu hanyalah
seperti kata Rasulullah saw, “berita gembira yang dipercepat.”
Dari mata air inilah
para pahlawan mukmin sejati itu mereguk surga yang luasnya seluas langit dan
bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di
waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
{Al-Imran: 134}.
Kompetisi adalah
semangat yang melekat dalam diri para pahlawan, karena ini merupakan cara
terbaik untuk mengeksploitasi potensi-potensi mereka. Maka, mereka membutuhkan
medan kompetisi yang tak terbatas, sebab ketidakterbatasan itu akan mendorong
munculnya semua potensi tersembunyi dalam diri mereka.
Filosofi adalah sebuah
ruang kecil dalam kepribadian kita
darimana seluruh tindakan diarahkan dan dikontrol. Tidak ada pahlawan
sejati yang besar yang tidak mempunyai struktur filosofi yang solid dan kuat. Orang-orang
yang tidak mempunyai pikiran-pikiran besar tidak akan pernah terarahkan untuk
melakukan tindakan-tindakan kepahlawanan.
Filosofi terbentuk
dalam diri kita sebagai kumulasi dari kerja-kerja imajinatif. Adapun imajinasi
itu sendiri merupakan bagian dari fungsi pikiran dan emosi sekaligus. Itu merupakan
proses yang paling sublim dalam diri kita, tetapi sekaligus merupakan tahapan
kreativitas yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian kita. Seperti kita
menyusun kata menjadi kalimat, atau memadukan warna menjadi gambar, atau
menyerap selera ke dalam desain, seperti itulah imajinasi mempertautkan
anak-anak pikiran menjadi sebuah filosofi.
Sebagian dari yang
terekam dalam filosofi itu adalah cara memaknai suatu sisi kepahlawanan. Misalnya.
Cara Amr bin Ash memaknai ketrampilan politik seorang pemimpin: “jika seorang pemimpin tahu bagaimana memasuki
suatu urusan, maka ia harus tahu juga bagaimana cara keluar dari urusan itu. Sesempit
apapun jalan keluar yang tersedia.”
Atau misalnya, cara
Umar bin Khattab memaknai akseptabilitas seorang pemimpin di mata Allah dalam
sebuah pesannya kepada para pejabat di masa kekhalifahannya, “Ketahuilah kedudukan anda di mata Allah
dengan cara melihat tingkat penerimaan masyarakat kepada anda.”
Para pahlawan mukmin
sejati menyadari dengan baik bahwa mereka lahir untuk sebuah misi besar. Akan tetapi,
ia juga menyimpan kesadaran lain yang sama; mereka tetap berpijak di permukaan
bumi. Itu bukan dua hal yang saling bertentangan. Sebab di pertengahannya ada
sebuah ruang tempat kedua hal itu bisa saling beririsan: optimisme.
Para pahlawan mukmin
sejati memandang misinya sebagai sesuatu yang sakral darimana mereka menemukan
perasaan terhormat karena lahir untuk memperjuangkan misi itu. Namun, mereka
merasa tenang karena berjuang di bawah bendera Allah. Mereka percaya bahwa di
bawah bendera itu mereka pasti mendapatkan kemenangan, walau pun mereka tidak
selalu menyaksikan kemenangan itu sendiri. Mereka percaya bahwa berjuang saja
sudah merupakan suatu kemenangan. Yaitu, kemenangan atas rasa takut, kemenangan
atas sifat pengecut, kemenangan atas cinta dunia dan kemenangan atas diri
sendiri. Apatah lagi bila kemudian dapat mengalahkan musuh, atau menegakkan
daulah dan khilafah.
Di antara keajaiban
hati para pahlawan mukmin sejati adalah cara mereka mengapresiasikan
karya-karya mereka. Mereka tidak pernah memandang karya-karya besar mereka
secara berelebihan, namun mereka juga tidak pernah meremehkan
pekerjaan-pekerjaan kecil yang mereka lakukan. Begitu pun dalam hal strategi,
para pahlawan mukmin sejati tidak pernah memandang dirinya lebih besar dari
strategi. Sebaliknya, ia menyerahkan dirinya untuk menjadi salah satu instrument
dari strategi tersebut. Demikianlah, Rasulullah saw pernah bersabda, “Jangan pernah meremehkan suatu kebaikan,
walaupun itu kecil.”
Para pahlawan mukmin
sejati selalu unggul dalam kekuatan spiritual dan semangat hidup. Senantiasa ada
gelombang gairah kehidupan yang bertalu-talu dalam jiwa mereka. Itulah yang
membuat sorot mata mereka selalu tajam, di balik kelembutan sikap mereka. Itulah
yang membuat mereka selalu penuh harapan, disaat virus keputusasaan mematikan
semangat hidup orang lain. Itulah vitalitas.
Tidak pernahkan
kesedihan menghinggapi hati mereka?
Tidak adakah jalan
bagi ketakutan menuju jiwa mereka?
Pernahkah mereka
tergoda oleh keputusasaan untuk mengundurkan diri dari pentas kepahlawanan? Adakah
di saat-saat dimana mereka merasa lemah, cemas, dan tidak mungkin memenangkan
pertarungan?
Para pahlawan itu
tetaplah manusia biasa. Semua gejala jiwa yang dirasakan oleh manusia biasa
juga dirasakan para pahlawan. Ada saat dimana mereka sedih. Ada saat dimana
mereka takut. Jenak-jenak kelemahan, keputusasaan, kecemasan, dan keterpurukan
pun pernah mendera jiwa mereka.
Akan tetapi, yang membedakan
para pahlawan dari manusia biasa adalah mereka selalu mengetahui bagaimana
mempertahankan vitalitas, bagaimana melawan ketakutan-ketakutan dan kesedihan-kesediahn, bagaimana
mempertahankan harapan di hadapan keputusasaan, dan bagaimana melampaui
dorongan untuk menyerah dan pasrah di saat kelemahan mendera jiwa mereka. Mereka
mengetahui bagaimana melawan gejala kelumpuhan jiwa.
Menilai diri sendiri adalah
seni yang paling rumit dari sekian banyak ketrampilan jiwa yang harus dimiliki
seorang pahlawan. Sebab, inilah saat-saat yang paling menentukan sejarah
kepahlawanan mereka, sekaligus menentukan jalan masuk mereka kepada sejarah
sebagai pahlawan.
Seni ini dimulai dari
pengamatan yang mendalam tentang diri sendiri. Setelah itu, berlanjut pada
penemuan letak kepahlawanan mereka. Sampai di tahap ini, seni itu belum begitu
rumit. Seni itu akan menjadi rumit manakala memasuki penilaian tentang karya
dan perbuatan mereka. Sebab, setiap manusia mempunyai kecendrungan untuk
membesatkan dirinya sendiri melampaui kadar yang sebenarnya. Karenanya, letak
kerumitan dari seni penilaian ini ada pada pertarungan antara kecendrungan
membesarkan diri sendiri dengan keharusan bersikap objektif yang sudah menjadi
sifat sejarah yang niscaya dalam menilai para pahlawan. Inilah pertarungan
antara megalomania dengan objektivitas. Simaklah firman Allah tentang
kecendrungan ini, “Janganlah sekali-kali
kamu menyanhka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang mereka kerjakan
dan mereka suka akan supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka
kerjakan; janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari sikasa, dan bagi
mereka siksaan yang pedih.” {Al-Imran
:188}.
Mempertahankan objektivitas
di depan godaan megalomania adalah pekerjaan jiwa yang paling rumit yang
senantiasa akan dirasakan oleh para pahlawan. Cobalah simak cara seorang khalifah dari zaman Abbasiyah menilai
dirinya, “Saya tidak akan pernah bangga
pada setiap prestasi yang saya capai, namun sebenarnya tidak saya rencanakan. Namun
saya juga tidak akan pernah menyesali setiap kegagalan yang saya alami, selama
saya sudah merencanakan semuanya dengan baik sebelum melakukannya.”
Seseorang tidak
menjadi pahlawan karena ia melakukan pekerjaan-pekerjaan kepahlawanan sepanjang hidupnya. Kepahlawanan seseorang
biasanya mempunyai momentumnya. Ada potongan waktu tertentu dalam hidup
seseorang dimana anasir kepahlawanan menyatu padu. Saat itulah ia
tersejarahkan. Akan tetapi, kita tidak menetahui kapan datangnya momentum itu. Yaitu,
kematangan pribadi dan peluang sejarah. Sebagaimana firman Allah SWT. “Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna
akalnya, kami berikan padanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. {Al-Qashahsh:
14}.
Usaha manusiawi yang
bisa kita lakukan adalah mempercepat saat-saat kematangan pribadi kita. Ini jenis
kerja kapitalisasi asset kesejarahan personal kita. Yang kita lakukan disini
adalah mengumpulkan sebanyak mungkin potensi dalam diri kita, mengolahnya, dan
kemudian mengkristalisasikannya. Dengan cara ini, kita memperluas “ruang
keserbamungkinan“ dan sedikitnya membantu kita menciptakan peluang sejarah. Atau,
sebaliknya mengantar kira untuk berdiri di pintu gerbang sejarah.
Berjalanlah dengan
mantap menuju rumah sejarah. Jika engkau sudah sampai di depan pintu
gerbangnya, ketuklah pintunya dan bacakan pada penjaganya puisi Khairil Anwar:
Aku
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau…
Orang-orang menjadi
pahlawan karena ia mempunyai bakat kepahlawanan dalam dirinya dan karena bakat
itu menemukan lingkungan yang memicu pertumbuhannya, kemudian menemukan
momentum historis yang menjadikannya abadi. Setiap orang datang membawa bakat
yang berbeda, kemudian menemukan lingkungan yang berbeda, dan kemudian menemukan
momentum historis yang berbeda.
Maka, keunikan
individual para pahlawan itu adalah keniscayaan sejarah. Sebagian dari keunikan
itu bersumber dari bakatnya, sebagian yang lainnya bersumber dari ruang dan
waktu serta situasi-situasinya. Keharmonisan dan perpaduan antara bakat, ruang,
waktu, dan situasi adalah faktor utama yang mengantarkan seseorang kepada dunia
kepahlawanan. Inilah yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firmanNya, “Katakanlah, tiap orang bekerja menurut
keadaan dirinya masing-masing. {Al-Isra’ : 84}. Begitu juga dengan sabda
Rasulullah saw, “Setiap orang dimudahkan
melakukan apa yang untuknya ia diciptakan.” {HR.Muslim}.
Akhir kata, jika
engkau bersedia untuk menerima takdir kesepian sebagai pajak bagi keunikan,
maka niscaya masyarakat juga akan membayar harga yang sama: kelak mereka akan
merasa kehilangan.
Judul : Mencari Pahlawan Indonesia
Penulis : Anis Matta
Penerbit : The Tarbawi center.
Kategory : Non fiksi
Tahun terbit : Januari 2004
Kota terbit : Jakarta.
Tebal buku : 228 hlm; 17, 2 cm.
Harga : Rp. 40.000,-
ISBN : 979-98251-0-5
Judul : Mencari Pahlawan Indonesia
Penulis : Anis Matta
Penerbit : The Tarbawi center.
Kategory : Non fiksi
Tahun terbit : Januari 2004
Kota terbit : Jakarta.
Tebal buku : 228 hlm; 17, 2 cm.
Harga : Rp. 40.000,-
ISBN : 979-98251-0-5
belum pernah baca, terima kasih telah membaginya di sini :-)
ReplyDeleteYou're welcome :) dan semoga tertarik membaca bukunya.
DeleteGood work Mina, keep it up:)
ReplyDelete