Thursday 27 February 2014

Mencari Pahlawan Indonesia (Review)

Awalnya hendak me-review buku Mencari Pahlawan Hatiku..hehehe..namun karena buku tersebut belum ada, jadi diganti saja dengan buku Mencari Pahlawan Indonesia :D
Lagi-lagi buku Anis Matta. Yup, saya suka semua karya Anis Matta. Jika dilihat sekilas buku ini kesannya kurang menarik, namun ketika lembar demi lembar dicerna, sungguh banyak mutiara tertera didalamnya. Sebenarnya agak sulit untuk mereviewnya sebab tulisan-tulisan di dalam buku tersebut berseri, but I try my best. Ini hasilnya, semoga bermanfaat.

Krisis adalah takdir sebuah bangsa. Ia tidak perlu disesali. Apalagi dikutuk. Kita hanya perlu menyakini sebuah kaidah, bahwa masalah kita bukan pada krisis itu. Namun pada kelangkaan pahlawan saat krisis itu terjadi. Itu tanda kelangsungan hidup atau kehancuran sebuah bangsa.

Pahlawan bukanlah orang suci dari langit yang diturunkan ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mujizat, secepat kilat untuk kemudian kembali ke langit. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam sunyi panjang, sampai waktu mereka habis.

Mereka tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau dimakamkan di Taman Makan Pahlawan. Mereka juga melakukan kesalahan dan dosa. Mereka bukan malaikat. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil jadi sebuah gunung: karya kepahlawanan adalah tabungan jiwa dalam masa yang lama. 


Orang-orang biasa yang melakukan kerja-kerja besar itulah yang kita butuhkan di saat kritis. Bukan orang-orang yang tampak besar namun hanya melakukan kerja-kerja kecil lalu menulisnya dalam autobiografinya. Semangat untuk melakukan kerja-kerja besar dalam sunyi yang panjang itulah yang coba dihidupkan dalam tulisan ini. Tulisan yang mencoba menghadirkan makna-makna yang melatari sebuah tindakan kepahlawanan. Bukan sekedar cerita heroism yang melahirkan kekaguman namun tidak mendorong kita meneladaninya.

Para pahlawan bukan untuk dikagumi. Namun untuk diteladani. Maka makna-makna yang melatari tindakan mereka yang perlu dihadirkan ke dalam kesadaran kita. Tulisan ini adalah pesan untuk orang-orang biasa, seperti saya, anda dan siapa saja, yang hendak mencoba dengan tulus memahami makna-makna itu, lalu secara diam-diam merakit kerja-kerja kecil menjadi sebuah gunung karya. 

Di tengah badai ini kita merindukan pahlawan itu. Pahlawan yang, kata Sapardi, “telah berjanji kepada sejarah untuk pantang menyerah.” Pahlawan yang, kata Chairil Anwar, “berselempang semangat yang tak bisa mati.” Pahlawan yang akan membacakan “pernyataan” Mansur Samin:

Demi amanat dan beban rakyat,
Kami nyatakan ke seluruh dunia,
Telah bangkit di tanah air,
Sebuah aksi perlawanan
Terhadap kepalsuan dan kebohongan
Yang bersarang dalam kekuasaan
Orang-orang pemimpin gadungan.  

Karena kerinduan itu, ku dengar Chairil Anwar seperti mewakili mereka:
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja kami belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa.
Kami Cuma tulang-tulang berserakan.
Tapi adalah kepunyaamu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang yang berserakan.

Tulang-tulang yang berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada mereka?
Ataukah tak lagi ada wanita di negeri ini yang mampu melahirkan pahlawan?
Seperti wanita-wanita Arab yang tak lagi mampu melahirkan lelaki seperti Khalid bin Walid?

Tulang belulang berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada mereka?
Ataukah, seperti kata Sayyid Quthub, “Kau mulai jemu berjuang, lalu kau tanggalkan senjata dari bahumu?” Tidak! Kaulah pahlawan yang kurindu itu. Dari beratus jiwa di negeri sarat nestapa ini. Atau jika tidak, biarlah kepada diriku saja aku berkata: Jadilah pahlawan itu.

Pekerjaan-pekerjaan besar dalam sejarah hanya dapat diselesaikan oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan. Tantangan-tantangan besar dalam sejarah hanya dapat dijawab oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan. Itulah sebabnya kita menyebut orang-orang pahlawan itu orang-oramg besar.

Mungkin, karena itu pula para pahlawan selalu muncul di saat-saat yang sulit, atau sengaja dilahirkan di tengah situasi yang sulit. Mereka datang untuk membawa beban yang tak dipikul oleh manusia-manusia di zamannya. Mereka bukan kiriman gratis dari langit. Akan tetapi, sejarah kepahlawanan mulai dicatat ketika naluri kepahlawanan mereka merespon tantangan-tantangan kehidupan yang berat. Ada tantangan dan ada jawaban. Dan hasil dari respon itu adalah lahirnya pekerjaan-pekerjaan besar.

Tantangan adalah stimultan kehidupan yang disediakan Allah untuk merangsang munculnya naluri kepahlawanan dalam diri manusia. Orang-orang yang tidak mempunyai naluri ini akan melihat tantangan sebagai beban berat, maka mereka menghindarinya dan dengan sukarela menerima posisi kehidupan yang tidak terhormat. Namun orang-orang yang mempunyai naluri kepahlawanan akan mengatakan tantangan-tantangan kehidupan itu: ini untukku. Atau seperti ungkapan orang-orang shadiq dalam perang khandaq yang diceritaka dalam Al-Qur’an,  “Dan takkala  orang-orang beriman melihat golongan-golongan yang saling bersekutu itu, (dalam menghadapi orang-orang beriman), mereka berkata, inilah yang dijanjikan Allah dan RasulNya kepada kita. Dan benarlah Allah dan RasulNya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. “ {Al-Ahzab: 22}.

Keberanian adalah saudara paling dekat dari naluri kepahlawanan. Pahlawan sejati selalu merupakan seorang pemberani sejati. Tidak akan pernah seseorang disebut pahlawan, jika ia tidak pernah membuktikan keberaniannya. Pekerjaan-pekerjaan besar atau tantangan-tantangan besar dalam sejarah selalu membutuhkan kadar keberanian yang sama besarnya dengan pekerjaan dan tantangan itu. Sebab pekerjaan dan tantangan besar itu selalu menyimpang resiko. Dan tak ada keberanian tanpa resiko.

Naluri kepahlawanan adalah akar dari pohon kepahlawanan. Akan tetapi, keberanian adalah batang yang menegakkannya. Keberanian adalah batang yang menegakkannya. Keberanian adalah kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa, yang mendorong seseorang maju menunaikan tugas, baik tindakan maupun perkataan, demi kebenaran dan kebaikan, atau untuk mencegah suatu keburukan dan dengan menyadari sepenuhnya semua kemungkinan resiko yang akan diterimanya.

Tidak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran. Sebab kesabaran adalah nafas yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri seorang pahlawan. Maka, ulama kita dulu mengatakan, “Keberanian itu sesungguhnya hanyalah keasabaran sesaat.”

Resiko adalah pajak keberanian. Dan hanya kesabaran yang dapat menyuplai seorang pemberani dengan kemampuan untuk membayar pajak itu terus menerus. Itulah yang dimaksud Allah SWT dalam firmanNya, “Jika ada di antara kamu dua puluh orang penyabar, niscaya mereka akan mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada di antara kamu seratus orang (penyabar), niscaya mereka akan mengalahkan seribu orang kafir.” {Al-Anfal: 65}

Seseorang disebut pahlawan karena timbangan kebaikannya jauh mengalahkan timbangan keburukannya, karena kekuatannya mengalahkan sisi kelemahannya. Jika engkau mencoba menghitung kesalahan dan kelemahannya, niscaya engkau menemui kesalahan dan kelemahannya itu “tertelan” oleh kebaikan dan kekuatannya.  

Akan tetapi, kebaikan dan kekeuatan itu bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan merupakan rangkaian amal yang menjadi jasanya bagi kehidupan masyarakat manusia. Itulah sebabnya tidak semua orang baik dan kuat menjadi pahlawan yang dikenang dalam ingatan kolektif masyarakat atau apa yang kita sebut sejarah. Hanya apabila kebaikan dan kekuatan menjelma jadi matahari yang menerangi kehidupan, atau purnama yang merubah malam jadi indah, atau mata air yang menghilangkan dahaga.

Nilai sosial setiap kita terletak pada apa yang kita berikan kepada masyarakat, atau pada kadar manfaat yang dirasakan masyarakat dari keseluruhan performance kepribadian kita. Maka, Rasulullah saw berkata, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.” Maka benarlah apa yang dikatakan Sayyid Qutbh, “Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Akan tetapi, orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar.”

Para pahlawan mukmin sejati tidak akan membuang energy mereka untuk memikirkan seperti apa ia akan ditempatkan dalam sejarah manusia. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana mereka meraih posisi paling terhormat di sisi Allah SWT. Itulah sejarah sebenaranya. Jika suatu ketika sejarah manusia memberi mereka posisi terhormat, itu hanyalah seperti kata Rasulullah saw, “berita gembira yang dipercepat.”

Dari mata air inilah para pahlawan mukmin sejati itu mereguk surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. {Al-Imran: 134}.

Kompetisi adalah semangat yang melekat dalam diri para pahlawan, karena ini merupakan cara terbaik untuk mengeksploitasi potensi-potensi mereka. Maka, mereka membutuhkan medan kompetisi yang tak terbatas, sebab ketidakterbatasan itu akan mendorong munculnya semua potensi tersembunyi dalam diri mereka.

Filosofi adalah sebuah ruang kecil dalam kepribadian kita  darimana seluruh tindakan diarahkan dan dikontrol. Tidak ada pahlawan sejati yang besar yang tidak mempunyai struktur filosofi yang solid dan kuat. Orang-orang yang tidak mempunyai pikiran-pikiran besar tidak akan pernah terarahkan untuk melakukan tindakan-tindakan kepahlawanan.

Filosofi terbentuk dalam diri kita sebagai kumulasi dari kerja-kerja imajinatif. Adapun imajinasi itu sendiri merupakan bagian dari fungsi pikiran dan emosi sekaligus. Itu merupakan proses yang paling sublim dalam diri kita, tetapi sekaligus merupakan tahapan kreativitas yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian kita. Seperti kita menyusun kata menjadi kalimat, atau memadukan warna menjadi gambar, atau menyerap selera ke dalam desain, seperti itulah imajinasi mempertautkan anak-anak pikiran menjadi sebuah filosofi.

Sebagian dari yang terekam dalam filosofi itu adalah cara memaknai suatu sisi kepahlawanan. Misalnya. Cara Amr bin Ash memaknai ketrampilan politik seorang pemimpin: “jika seorang pemimpin tahu bagaimana memasuki suatu urusan, maka ia harus tahu juga bagaimana cara keluar dari urusan itu. Sesempit apapun jalan keluar yang tersedia.”

Atau misalnya, cara Umar bin Khattab memaknai akseptabilitas seorang pemimpin di mata Allah dalam sebuah pesannya kepada para pejabat di masa kekhalifahannya, “Ketahuilah kedudukan anda di mata Allah dengan cara melihat tingkat penerimaan masyarakat kepada anda.”

Para pahlawan mukmin sejati menyadari dengan baik bahwa mereka lahir untuk sebuah misi besar. Akan tetapi, ia juga menyimpan kesadaran lain yang sama; mereka tetap berpijak di permukaan bumi. Itu bukan dua hal yang saling bertentangan. Sebab di pertengahannya ada sebuah ruang tempat kedua hal itu bisa saling beririsan: optimisme.   

Para pahlawan mukmin sejati memandang misinya sebagai sesuatu yang sakral darimana mereka menemukan perasaan terhormat karena lahir untuk memperjuangkan misi itu. Namun, mereka merasa tenang karena berjuang di bawah bendera Allah. Mereka percaya bahwa di bawah bendera itu mereka pasti mendapatkan kemenangan, walau pun mereka tidak selalu menyaksikan kemenangan itu sendiri. Mereka percaya bahwa berjuang saja sudah merupakan suatu kemenangan. Yaitu, kemenangan atas rasa takut, kemenangan atas sifat pengecut, kemenangan atas cinta dunia dan kemenangan atas diri sendiri. Apatah lagi bila kemudian dapat mengalahkan musuh, atau menegakkan daulah dan khilafah.

Di antara keajaiban hati para pahlawan mukmin sejati adalah cara mereka mengapresiasikan karya-karya mereka. Mereka tidak pernah memandang karya-karya besar mereka secara berelebihan, namun mereka juga tidak pernah meremehkan pekerjaan-pekerjaan kecil yang mereka lakukan. Begitu pun dalam hal strategi, para pahlawan mukmin sejati tidak pernah memandang dirinya lebih besar dari strategi. Sebaliknya, ia menyerahkan dirinya untuk menjadi salah satu instrument dari strategi tersebut. Demikianlah, Rasulullah saw pernah bersabda, “Jangan pernah meremehkan suatu kebaikan, walaupun itu kecil.”

Para pahlawan mukmin sejati selalu unggul dalam kekuatan spiritual dan semangat hidup. Senantiasa ada gelombang gairah kehidupan yang bertalu-talu dalam jiwa mereka. Itulah yang membuat sorot mata mereka selalu tajam, di balik kelembutan sikap mereka. Itulah yang membuat mereka selalu penuh harapan, disaat virus keputusasaan mematikan semangat hidup orang lain. Itulah vitalitas.

Tidak pernahkan kesedihan menghinggapi hati mereka?
Tidak adakah jalan bagi ketakutan menuju jiwa mereka?
Pernahkah mereka tergoda oleh keputusasaan untuk mengundurkan diri dari pentas kepahlawanan? Adakah di saat-saat dimana mereka merasa lemah, cemas, dan tidak mungkin memenangkan pertarungan?

Para pahlawan itu tetaplah manusia biasa. Semua gejala jiwa yang dirasakan oleh manusia biasa juga dirasakan para pahlawan. Ada saat dimana mereka sedih. Ada saat dimana mereka takut. Jenak-jenak kelemahan, keputusasaan, kecemasan, dan keterpurukan pun pernah mendera jiwa mereka.

Akan tetapi, yang membedakan para pahlawan dari manusia biasa adalah mereka selalu mengetahui bagaimana mempertahankan vitalitas, bagaimana melawan ketakutan-ketakutan dan kesedihan-kesediahn, bagaimana mempertahankan harapan di hadapan keputusasaan, dan bagaimana melampaui dorongan untuk menyerah dan pasrah di saat kelemahan mendera jiwa mereka. Mereka mengetahui bagaimana melawan gejala kelumpuhan jiwa.

Menilai diri sendiri adalah seni yang paling rumit dari sekian banyak ketrampilan jiwa yang harus dimiliki seorang pahlawan. Sebab, inilah saat-saat yang paling menentukan sejarah kepahlawanan mereka, sekaligus menentukan jalan masuk mereka kepada sejarah sebagai pahlawan.

Seni ini dimulai dari pengamatan yang mendalam tentang diri sendiri. Setelah itu, berlanjut pada penemuan letak kepahlawanan mereka. Sampai di tahap ini, seni itu belum begitu rumit. Seni itu akan menjadi rumit manakala memasuki penilaian tentang karya dan perbuatan mereka. Sebab, setiap manusia mempunyai kecendrungan untuk membesatkan dirinya sendiri melampaui kadar yang sebenarnya. Karenanya, letak kerumitan dari seni penilaian ini ada pada pertarungan antara kecendrungan membesarkan diri sendiri dengan keharusan bersikap objektif yang sudah menjadi sifat sejarah yang niscaya dalam menilai para pahlawan. Inilah pertarungan antara megalomania dengan objektivitas. Simaklah firman Allah tentang kecendrungan ini, “Janganlah sekali-kali kamu menyanhka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang mereka kerjakan dan mereka suka akan supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan; janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari sikasa, dan bagi mereka siksaan yang pedih.” {Al-Imran :188}.

Mempertahankan objektivitas di depan godaan megalomania adalah pekerjaan jiwa yang paling rumit yang senantiasa akan dirasakan oleh para pahlawan. Cobalah simak cara seorang  khalifah dari zaman Abbasiyah menilai dirinya, “Saya tidak akan pernah bangga pada setiap prestasi yang saya capai, namun sebenarnya tidak saya rencanakan. Namun saya juga tidak akan pernah menyesali setiap kegagalan yang saya alami, selama saya sudah merencanakan semuanya dengan baik sebelum melakukannya.”

Seseorang tidak menjadi pahlawan karena ia melakukan pekerjaan-pekerjaan kepahlawanan  sepanjang hidupnya. Kepahlawanan seseorang biasanya mempunyai momentumnya. Ada potongan waktu tertentu dalam hidup seseorang dimana anasir kepahlawanan menyatu padu. Saat itulah ia tersejarahkan. Akan tetapi, kita tidak menetahui kapan datangnya momentum itu. Yaitu, kematangan pribadi dan peluang sejarah. Sebagaimana firman Allah SWT. “Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, kami berikan padanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. {Al-Qashahsh: 14}.

Usaha manusiawi yang bisa kita lakukan adalah mempercepat saat-saat kematangan pribadi kita. Ini jenis kerja kapitalisasi asset kesejarahan personal kita. Yang kita lakukan disini adalah mengumpulkan sebanyak mungkin potensi dalam diri kita, mengolahnya, dan kemudian mengkristalisasikannya. Dengan cara ini, kita memperluas “ruang keserbamungkinan“ dan sedikitnya membantu kita menciptakan peluang sejarah. Atau, sebaliknya mengantar kira untuk berdiri di pintu gerbang sejarah.

Berjalanlah dengan mantap menuju rumah sejarah. Jika engkau sudah sampai di depan pintu gerbangnya, ketuklah pintunya dan bacakan pada penjaganya puisi Khairil Anwar:
Aku
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau…

Orang-orang menjadi pahlawan karena ia mempunyai bakat kepahlawanan dalam dirinya dan karena bakat itu menemukan lingkungan yang memicu pertumbuhannya, kemudian menemukan momentum historis yang menjadikannya abadi. Setiap orang datang membawa bakat yang berbeda, kemudian menemukan lingkungan yang berbeda, dan kemudian menemukan momentum historis yang berbeda.

Maka, keunikan individual para pahlawan itu adalah keniscayaan sejarah. Sebagian dari keunikan itu bersumber dari bakatnya, sebagian yang lainnya bersumber dari ruang dan waktu serta situasi-situasinya. Keharmonisan dan perpaduan antara bakat, ruang, waktu, dan situasi adalah faktor utama yang mengantarkan seseorang kepada dunia kepahlawanan. Inilah yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firmanNya, “Katakanlah, tiap orang bekerja menurut keadaan dirinya masing-masing. {Al-Isra’ : 84}. Begitu juga dengan sabda Rasulullah saw, “Setiap orang dimudahkan melakukan apa yang untuknya ia diciptakan.” {HR.Muslim}.

Akhir kata, jika engkau bersedia untuk menerima takdir kesepian sebagai pajak bagi keunikan, maka niscaya masyarakat juga akan membayar harga yang sama: kelak mereka akan merasa kehilangan. 




Judul : Mencari Pahlawan Indonesia
Penulis : Anis Matta
Penerbit : The Tarbawi center.
Kategory : Non fiksi
Tahun terbit : Januari 2004
Kota terbit : Jakarta.
Tebal buku : 228 hlm; 17, 2 cm. 
Harga : Rp. 40.000,-
ISBN : 979-98251-0-5



3 comments:

  1. belum pernah baca, terima kasih telah membaginya di sini :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. You're welcome :) dan semoga tertarik membaca bukunya.

      Delete
  2. Good work Mina, keep it up:)

    ReplyDelete

Thank you for visiting guys :) please come back anytime you can...